Hingga kini, belum ada data valid
yang menuturkan tentang asal muasal nama Kota Batam. Bahkan, hikayat atau
legenda yang ada dan tertutur dari mulut ke mulut belum mampu utuh menjabarkan
toponimi “Batam.” Yang ada, justru orang kerap memberi kepanjangan Batam,
dengan berbagai versi.
Pada era 1980-an, ketika Batam mulai
bergeliat, tumbuh menjadi kota industri, orang sekenanya memberi kepanjangan
Batam. Ada yang menyingkat Batam dengan Bila Anda Tiba Akan Menyesal. Ada yang
menyebutnya Bila Tabah Anda Akan Menang, Bila Anda Tiba Amoy Menanti, (dibatam banyak orang Tionghoa, disini juga ada Mall Khusus penjualnya orang Tiongkok), dan lain sebagainya.
Berbagai versi singkatan itu muncul,
agaknya tidak lain karena literatur yang mendedah tentang penamaan Batam pada
dekade itu, sangat minim. Orang-orang Batam yang telah mendiami pulau ini sejak
lama pun, bisa dibilang tidak mengerti banyak mengapa kota pulau ini dinamai
Batam. Tradisi lisan yang menceritakan tentang asal usul nama daerah, justru
banyak merujuk pada nama kawasan atau kampung di sekitaran Batam seperti Jodoh,
Nagoya, Batu Aji, Pulau Buluh, Batu Ampar, Kampung Agas, Tanjung Uma, dan
lainnya.
Namun belakangan, ketika Batam makin
banyak dihuni penduduk dengan beragam etnis dari berbagai daerah di nusantara,
orang kemudian mulai penasaran, ingin mengetahui lebih jauh tentang asal usul
nama Batam beserta hikayat atau legenda yang melingkupinya.
Tapi itu pun hingga kini belum
terjawab tuntas. Tapi demikian, lambat laun, muncul beberapa tulisan yang meski
sedikit, telah menyinggung tentang toponimi Batam. Versinya beragam dan
di-input dari berbagai sumber, terutama orang-orang lama yang justru berasal
dari luar Pulau Batam.
Dari cerita lisan mengenai asal
muasal nama Batam, memang tidak terperinci secara spesifik. Belum ada satu pun
kajian yang mampu secara gamblang dan utuh menyajikannya. Sejumlah buku yang
bertutur tentang hikayat rakyat di Kepulauan Riau (Kepri), sebagian isinya
telahlah menyinggung perihal Batam, tetapi tidak dalam konteks holistik.
Sifatnya parsial, terpenggal-penggal.
Versinya juga beragam alias tidak
satu kata. Satu lagi, buku-buku tersebut, terdistribusi dalam jumlah sangat
terbatas sehingga tidak mampu terakses luas oleh khalayak. Oleh karena itulah
tak mengherankan kalau hikayat asal muasal Batam dalam beberapa dekade, seolah
tenggelam begitu saja. Akibatnya, banyak orang yang telah bertahun-tahun
bermastautin di Batam, tergagap-gagap ketika ditanya tentang asal usul Batam,
tanah tumpah darah, tempatnya bernaung dan beranak pinak.
Berbagai versi tentang hikayat Batam
itu, satu di antaranya disebutkan dalam buku “Patahnya Gunung Daik,” tulisan
Drs Abdul Razak. Di buku itu disebutkan bahwa “Batam” merupakan akronim dari
“batu ampa,” merujuk pada cerita si Badang dan Putri Tumasik yang dikenal dalam
khasanah hikayat rakyat Melayu. Tapi versi lain menyebut, “Batam” berasal dari
kata “Batang.” Konon, ketika pertama kali tanah semenanjung tercipta, kawasan itu
terkenal sangat labil. Ketika hembusan angin Selatan datang, tanah semenanjung
itu terbuai-buai diterpa angin kencang.
Untuk melindungi kawasan labil
itulah, dewa penunggu semenanjung meletakkan berbagai batang kayu yang masih
berumbi di Belakang Selatan Semenanjung. Di mata Timur, rumpun batang itu
dibentang (baca: bentan) lagi dengan rumpun batang yang lain. Lalu di bagian
Selatan rumpun batang itu di Rempang dan di Galang pula dengan rumpun-rumpun
batang lain. Belakangan, semua itu menjadi asal usul perkataan ‘Bintan,’
‘Rempang.’ dan “Galang.’
Versi penamaan ‘Batam’ lainnya,
tersebutkan pula dalam hikayat “Dari Nongsa ke Pulau Terong,” yang ditulis
Abdul Basyid dan Raja Erwan. Versi ini menyebut, kata ‘Batam’ berasal dari kata
pelanduk putih. Kalau ditilik dari akronimnya, kata ‘Batam’ dan ‘pelanduk
putih’ memang tidak memiliki korelasi secara tekstual. Tetapi paling tidak,
hikayat ini mampu memperkaya khasanah jagad ke-hikayat-an Batam.
Hikayat itu bermula dari sepasang
suami istri Bujang Jenali dan Siti Janilun. Keduanya hidup di kampung sebelah
Utara, yang kini bernama Batam. Sang suami, sehari-hari bekerja menangkap ikan
dan berburu pelanduk. Tapi entah bagaimana, satu ketika Siti Janilun ingin
sekali melihat sang suami sepulang berburu membawa perlanduk berbulu hitam atau
kelabu. Tidak putih seperti biasa Bujang Jenali memberikan kepadanya.
Tapi meski berusaha sekuat tenaga,
Bujang Jenali tak sanggup memenuhi permintaan istrinya, karena setiap berburu
ia tak pernah menemukan pelanduk berbulu hitam atau kelabu. Hingga pada satu
hari sepulang dari berburu, ia kaget menemukan istrinya dibelit ular. Dengan
sekali tebas, kepala ular yang memeluk pinggang istrinya itu terpisah dari
badannya.
Sejak peristiwa itu, Bujang Jenali
pun makin membulatkan tekad, untuk mendapatkan pelanduk yang tidak berwarna
putih agar istrinya tidak kempunan. Namun apakah pada akhirnya ia berhasil atau
tidak mendapatkan pelanduk seperti yang diinginkan istrinya, cerita ini tidak
menjabarkan detil hingga ke sana. Yang pasti, kalau merujuk pada cerita
tersebut, sejak itu pula, pulau tempat mereka berdiam disebut orang Pulau
Pelanduk Putih yang kelak jadi asal-usul nama “Pulau Batam.”
Semoga Bermanfaat dan Mari Berkunjung Ke Otoritas Batam sahabat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar